Friday, June 10, 2011

Kisah Aelia(Jerusalem) dan Yahudi.

Jerusalem 638 M. Tampak Amirul Mu'minin Umar ibn Khattab bersamasejumlah pembantu dekatnya – Khalid ibn Walid, Amr ibn Ash, Abdur Rahman ibn Auf, Mu'awiyah ibn Abi Sufyan – menandatangani perjanjian damai dengan kaum Nasrani Jerusalem. Pihak Nasrani dipimpin Uskup Sophronius, penguasa Jerusalem.

"Bismillahirrahmanir rahim, ini adalah jaminan yang diberikan kepada penduduk Aelia (nama Jerusalem waktu itu) oleh hamba Allah Amirul Mu'minin Umar ibn Khattab. Dia memberi mereka kepastian dan keamanan untuk diri mereka, segala milik mereka, gereja-gereja mereka, salib-salib mereka – baik yang kondisinya masih baik maupun yang sudah buruk – dan peribadatan mereka secara umum… Tidak ada larangan apapun yang akan diterapkan dalam soal agama. Tak seorang pun akan diganggu…."

Umar dan penguasa-penguasa muslim selanjutnya tidak hanya memberi kebebasan kepada kaum Nasrani setempat, tapi juga kepada orang Yahudi. Perjanjian itu merupakan tonggak bersejarah, tak cuma bagi kaum muslim, tapi juga bagi kaum Yahudi. Betapa tidak, semenjak itu, kaum Yahudi yang selama 500 tahun dilarang masuk Aelia (Jerusalem), kini mulai mengenyam kebebasan di kota suci mereka. Bahkan mereka diperbolehkan beribadah di bukit Temple Mount, yang terletak di bagian timur kota itu.

Flashback

Aelia (nama Jerusalem waktu itu) Tahun 70 M. Perang besar sedang berkecamuk antara tentara pemerintah pusat Romawi dengan kaum Yahudi setempat yang dipimpin para rabbi. Atau tepatnya, tentara pusat Romawi, yang dipimpin Pangeran Titus, menyerang kaum Yahudi Aelia karena pembangkangan mereka. Tentara Romawi mengejar kaum Yahudi dan para rabbi sampai ke Temple Mount, tempat suci kaum Yahudi. Perang ini, seperti diduga, berakhir dengan kemenangan tentara Romawi.

Konon, pada tahun pertama dia naik tahta, Titus datang ke Aelia, lalu membantai kaum Yahudi dan menahan orang-orang yang selamat jiwanya di antara mereka. Tak cuma itu, Titus juga menghancurkan kota suci itu. Kuil Sulaiman, yang terletak di atas Temple Mount, dihancurkannya, sedang buku-buku suci kaum Yahudi dibakarnya.

Semenjak itu, orang Yahudi dilarang masuk ke Aelia. Setiap Yahudi yang ketahuan masuk pasti dibunuh. Hingga pusat pemerintahan Romawi dipindahkan ke Bizantium (Konstantinopel), kebijaksanaan ini terus berlaku, bahkan hingga Aelia jatuh ke tangan kaum muslim.

Kebencian kepada kaum Yahudi juga memuncak di kalangan kaum Nasrani ataupun pemerintahan Bizantium sendiri. Karena tahu bahwa Batu Cadas (Rock) di Temple Mount dikeramatkan kaum Yahudi, orang-orang Nasrani membuang kotoran mereka di atas batu itu. Bahkan orang-orang perempuan dianjurkan untuk membuang baju bekas haidnya ke atas batu tersebut. Hingga akhirnya, batu itu tertutup tumpukan kotoran yang menggunung. Tak kurang Nabi Muhammad, dalam suratnya kepada Kaisar Heraclius yang sedang berkunjung ke Aelia, menganjurkan agar kotoran itu dibersihkan. "Wahai orang-orang Rum, kalian akan dikutuk lantaran tumpukan kotoran ini karena kalian telah mencemari tempat keramat ini," sabda beliau.

Rupanya kata-kata beliau mengenai sasaran. Kaisar Heraclius memerintahkan rakyatnya untuk membersihkan tumpukan kotoran itu. Tapi, pekerjaan tersebut baru diselesaikan sepertiganya ketika Umar masuk ke Aelia.

Kembali ke Adegan Semula

Usai penandatanganan perjanjian damai itu, Sayidina Umar minta diantar Uskup Sophronius jalan-jalan ke bukit Temple Mount, untuk ditunjukkan tempat-tempat suci di sana. "Bawa aku ke tempat ibadah Nabi Dawud," kata Umar.

Setelah itu Umar berjalan, diikuti bersama 4.000 sahabat Nabi yang bersenjatakan pedang. Sedang Uskup Sophronius mengawal di depannya. Ketika melihat tumpukan kotoran di atas Batu Cadas, sang uskup berkata, "Inilah tempat ibadah Nabi Dawud."
"Bohong kamu, sebab kitab suci telah memberi tahu aku mengenai tempat ibadah itu, dan bukan ini," katanya. Maklumlah, sebelum pergi ke sana, Umar telah menanyai Ka'bul Akhbar, yang dulunya Kristen.
Mereka terus berjalan, hingga sampai di Gereja Sion. "Ini tempat ibadah Nabi Dawud," kata Sophronius.
"Bukan, kamu bohong," tegas Umar.
Mereka terus berjalan dan melewati apa yang kemudian disebut Pintu Gerbang Mughammad. Kata Sophronius, "Sekarang tak mungkin kita melanjutkan perjalanan kecuali dengan merangkak."
Tak apa. Umar bersama rombongannya beserta Sophronius pun merangkak.
Sesampainya di atas, di sebuah tanah lapang yang keramat itu, mereka bisa berdiri tegak. "Demi Allah yang jiwaku ada di genggaman-Nya, inilah tempat yang diterangkan kepada kita oleh Allah," kata Umar. Yakni tempat yang oleh Allah disebut Masjidil Aqsha. Usai itu beliau berjalan ke arah selatan, lalu berkata, "Biarkan kami mendirikan masjid di sini."

Umar masuk ke Jerusalem atas permintaan penduduk setempat setelah dikepung selama dua tahun oleh tentara muslim di bawah pimpinan Abu Ubaidah. Mereka siap berdamai dan membayar jizyah, asal Umar sendiri yang datang.

Demikianlah, kota suci itu jatuh ke pangkuan umat Islam dengan damai, tanpa setetes pun darah yang mengalir. Begitu juga setelahnya. Kaum Yahudi, umat Islam dan kaum Nasrani hidup berdampingan di kota itu dengan rukun – semua mendapat bagian masing-masing untuk beribadah di kota suci tersebut. Inilah ending yang membahagiakan.

(ha/ dari buku "Jerusalem" oleh F.E. Peters dan sumber-sumber lainnya).

__._,_.___

No comments:

Post a Comment